Rabu, Juli 23, 2008

Kisah Seorang Pemuda Kader Ahli Sihir

Oleh: Mochamad Bugi
--------------------------------------------------------------------------------

dakwatuna.com - Dahulu ada ada seorang Raja mempunyai seorang Ahli Sihir. Setelah Ahli Sihir itu tua, ia meminta kepada Raja agar mengirimkan orang pemuda untuk dikader menjadi ahli sihir. Maka dikirimlah kepadanya seorang pemuda -menurut riwayat Ibnu Ishak di Sirah Ibnu Hisyam, nama pemuda ini Abdullah bin Tsamir–.

Di tengah perjalanan untuk belajar ilmu sihir, Pemuda itu berjumpa dengan seorang Rahib. Lalu duduk sejenak dan mendengarkan kata-kata sang Rahib hingga ia tertarik. Maka sejak itu setiap hari ia akan ke tempat Ahli Sihir, ia singgah terlebih dahulu ke tempat sang Rahib untuk mendengarkan ilmu yang diberikannya. Akibatnya, si Pemuda selalu terlambat tiba di tempat Ahli Sihir. Gurunya, si Ahli Sihir, menghukum pukul si Pemuda atas keterlambatannya.

Si Pemuda menceritakan kepada sang Rahib bahwa ia selalu dihukum guru sihirnya karena selalu terlambat. Sang Rahib menyarankan, “Bilang kepadanya, engkau menyelesaikan pekerjaan rumah dahulu. Kalau kamu takut dimarahi keluargamu karena pulang terlambat, katakan kepada mereka ada pekerjaan dari guru sihirmu.”

Suatu ketika dalam perjalanan si Pemuda bertemu dengan binatang yang sangat besar dan membuat orang-orang takut. Ia berkata pada dirinya sendiri, “Sekarang saatnya aku mencoba, siapakah yang lebih baik: Rahib atau Ahli Sihir.” Lalu ia mengambil sebuah batu dan berucap, “Ya Allah, jika yang benar bagimu adalah Rahib dan bukan Ahli Sihir, maka bunuhlah binatang itu agar orang-orang tidak terganggu.” Ia lempar batu itu. Kena. Binatang itu mati.

Segera si Pemuda menemui Rahib. Ia ceritakan semua peristiwa yang baru terjadi. Sang Rahib berkata, “Anakku, hari ini engkau lebih baik dari aku. Engkau akan mendapat cobaan. Janganlah engkau beritahu tentang aku.”

Bersamaan dengan berjalannya waktu, si Pemuda memiliki keistimewaan. Ia mampu menyembuhkan orang buta, mengobati penyakit kulit, dan berbagai penyakit lainnya. Keahliannya ini sampai ke telinga seorang Pengawal Raja yang buta. Pengawal Raja ini datang sambil membawa banyak hadiah. “Jika engkau mampu menyembuhkanku, engkau mendapat hadiah yang istimewa,” katanya.

Si Pemuda menjawab, “Aku tidak dapat menyembuhkan siapa pun. Yang dapat menyembuhkan hanyalah Allah swt. Kalau engkau beriman kepada Allah, aku akan berdoa agar Allah swt. menyembuhkanmu.”

Si Pengawal pun beriman. Allah swt. menyembuhkan matanya. Pulanglah ia ke istana dan kembali bertugas mendampingin Raja seperti biasa. Tentu saja Raja kaget. Pengawalnya sudah tidak buta lagi.

“Siapa yang menyembuhkanmu?” tanya Raja.

“Tuhanku,” jawab si Pengawal.

“Apakah ada Tuhan selain aku?” tanya Raja lagi.

“Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah,” jawab si Pengawal.

Raja marah. Ia memerintahkan pengawal-pengawalnya yang lain untuk menyiksa si Pengawal beriman itu. Raja ingin tahu siapa orang di balik perubahan akidah Pengawalnya itu. Maka tersebutlah nama si Pemuda.

Raja luar biasa murka. Si pemuda dipanggil untuk menghadap. Raja berkata, “Wahai anak muda, sihirmu telah mampu menyembuhkan orang buta dan orang yang terkena penyakit kulit. Engkau juga mampu melakukan yang tak dapat diperbuat orang lain.”

Si Pemuda berkata, “Aku tidak dapat menyembuhkan siapa pun. Yang dapat menyembuhkan hanya Allah swt.”

Mendengar jawaban itu Raja murka. Ia menyiksa Pemuda itu. Raja menyiksanya terus menerus hingga tersebutlah nama sang Rahib sebagai guru si Pemuda. Raja memerintahkan pengawal-pengawalnya untuk menangkap sang Rahib. Setelah sang Rahib berhasil di hadirkan, Raja berkata, “Keluarlah dari agamamu!” Sang rahib menolak. Ia dihukum gergaji. Tubuhnya terbelah menjadi dua dari kepala hingga tubuh bagian bawah.

Raja juga memerintahkan Pengawalnya yang telah beriman untuk keluar dari keyakinan barunya, “Keluarlah dari agamamu!’ Si Pengawal menolak. Ia pun dihukum gergaji. Tubuhnya terbelah menjadi dua, dari kepala hingga ke tubuh bagian bawah.

Lalu Raja memanggil si pemuda. “Keluarlah kamu dari agamamu!” Si Pemuda menolak. Raja menyuruh beberapa pengawalnya membawa Pemuda itu ke atas gunung. “Jatuhkan dia dari puncak gunung kalau dia tidak mau keluar dari keyakinannya.”

Setelah sampai di puncak gunung si Pemuda berdoa, “Ya Allah, tolonglah aku dari mereka.” Gunung pun bergoyang. Para pengawal yang akan mengeksekusi si pemuda itu jatuh. Mati.

Si Pemuda yang selamat datang kepada Raja. Raja heran, “Apa yang mereka perbuat kepadamu?” “Aku telah diselamatkan oleh Allah swt.,” tegas si Pemuda.

Maka Raja memerintahkan pengawalnya yang lain untuk membawa si Pemuda ke tengah laut. Lemparkan jika ia tidak keluar dari agamanya, begitu perintah Raja. Ketika sampai di tengah laut, si Pemuda berdoa, “Ya Allah, tolonglah aku dari mereka.” Tiba-tiba perahu oleng. Terbalik. Semua tewas tenggelam, kecuali si Pemuda.

Sekali lagi si Pemuda menghadap Raja. Raja terkejut, “Apa yang terjadi?” Dengan tegas si Pemuda berkata, “Allah membinasakan mereka dan menolong aku.” Lalu ia menambahkan, “Engkau tidak akan bisa membunuhku kecuali engkau mengikuti saranku.”

“Apa itu?” tanya Raja.

“Kumpulkan rakyatmu di sebuah lapangan luas dan engkau salib aku di sebatang kayu. Lalu panah aku dengan busur milikku sambil kau ucapkan bismillah Rabb ghulam, dengan nama Allah Tuham pemuda ini. Jika engkau lakukan itu, engkau akan berhasil membunuhku.”

Raja pun melakukan apa yang disarankan si Pemuda. “Bismillah Rabb ghulam,” ucap Raja. Panah pun meluncur. Tepat menembus pelipis si pemuda. Si pemuda meletakkan tangannya di pelipis yang terkena anak panah. Ia pun menghembuskan nafas terakhir. Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu berkata, “Kami beriman kepada Tuhannya pemuda ini.”

Seseorang berkata kepada Raja, “Tidakkah engkau saksikan apa yang engkau khawatirkan? Orang-orang telah beriman kepada Tuhannya pemuda itu.”

Raja murka luar biasa. Ia memerintahkah tentaranya membuat parit lalu mengisi parit itu dengan api yang membakar. “Yang tetap beriman kepada Tuhannya pemuda itu, ceburkan ke dalam parit itu!” titah Raja terucap. Maka, satu per satu orang-orang yang beriman kepada Tuhannya si Pemuda diceburkan ke dalam parit berapi itu. Sampai giliran seorang wanita yang menggendong anaknya. Ia ragu untuk mencebut ke dalam kobaran api. Anaknya berkata, “Wahai ibu, sabarlah. Lakukan, engkau berada dalam kebenaran.”

Begitulah, kisah orang-orang yang beriman sebelum kita. Rasulullah saw. menceritakannya kepada kita seperti yang diriwayatkan Muslim (3005), Tirmidzi (3340), Ahmad (6/17, 18), Nasa’i (11661), Ibnu Hibban (873), Tharani (7319), Ibnu Abi Ashim (287). Mereka telah membuktikan kebenaran iman mereka. Dan pasti akan tiba giliran kita untuk diuji? Semoga Allah swt. mengokohkan iman di hati kita apa pun yang terjadi. Amin.

Dalam Sirah Ibnu Hisyam, Tafsir Ibnu Katsir, dan Mu’jam Al-Buldan disebutkan, jenazah Pemuda ini ditemukan di zaman Khalifah Umar bin Khaththab. Jari si Pemuda tetap berada di pelipisnya seperti ketika ia dibunuh. Penemuan ini terjadi saat seorang penduduk Najran menggali lobang untuk suatu keperluan. Ketika tangan si Pemuda ditarik dan dijauhkan dari pelipisnya, darah memancar dari luka panas. Jika tangannya dikembalikan ke posisi semula, darah itu berhenti mengalir. Di tangan si Pemuda tertulis kata-kata Rabbku adalah Allah. Mendengar kabar itu, Umar bin Khaththab memerintahkan agar jasad di Pemuda dibiarkan seperti semula.

Ibnu Katsir berkata, “Kisah itu terjadi antara masa Isa bin Maryam a.s. dengan Rasul Muhammad saw., dan ini lebih mendekati. Wallahu a’lam.”

Apakah mereka lebih khusyu' daripada Abu Bakar dan Umar? www.perpustakaan-islam.com

Pada suatu hari Amir terlambat pulang ke rumah lalu ayahnya bertanya: Ke mana saja kamu, wahai Amir? Ia menjawab: Saya melihat suatu kaum yang tidak ada yang lebih baik daripada mereka, mereka berdzikir kepada Allah Ta'ala, salah satu di antara mereka gemetar kemudian pingsan karena takutnya kepada Allah! Apakah mereka lebih khusyu dari Abu Bakar dan Umar?

Seorang tabi'in yang agung bernama Amir bin Abdillah bin Zubair belajar dari ayahnya Abdullah bin Zubair ra.

Pada suatu hari Amir terlambat pulang ke rumah lalu ayahnya bertanya: Ke mana saja kamu, wahai Amir? Ia menjawab: Saya melihat suatu kaum yang tidak ada yang lebih baik daripada mereka, mereka berdzikir kepada Allah Ta'ala, salah satu di antara mereka gemetar kemudian pingsan karena takutnya kepada Allah!

Lalu ayahnya berkata: Janganlah kamu duduk bersama mereka lagi, wahai Amir! Kemudian Amir bertanya: Mengapa? Bukankah mereka adalah suatu kaum yang takut kepada Allah? Bapaknya menjawab: Sungguh saya telah melihat bagaimana Rasulullah saw membaca Al-Quran, dan aku melihat pula Abu Bakar 'dan Umar ra membaca Al-Qur'an, namun tidak sampai mengalami sebagaimana orang-orang yang kamu ceritakan itu, lalu apakah kau kira mereka lebih khusyu' dari pada Abu Bakar dan Umar?


Penulis mendapatkan kisah tersebut dalam biografi tabi'in yang zuhud dan ahli ibadah ini. Beliau belajar kepada ayahnya, seorang sahabat yang agung dan putra sahabat yang agung pula, yakni Abdulullah bin Zubair bin Awwam maka petunjuknya sesuai dengan petunjuk Nabi saw. Dalam riwayat ini terdapat solusi dari problem berupa ghuluw (melampaui batas) dan sikap ektsrim yang banyak menimpa kaum muda yang tengah bersemangat, sekalipun dengan niat yang baik dan menginginkan kebaikan, akan tetapi mereka salah dalam menempuh cara. Sehingga mereka tidak mendapatkan tujuan yang mereka kehendaki.

Abdullah bin Zubair bertanya kepada anaknya Amir atas keterlambatan pulang kerumah itu adalah merupakan hak baginya dan bahkan kewajiban bapak terhadap anaknya. Bukan berarti beliau merampas kemerdekaan anak atau mengekangnya, bahkan hal itu merupakan wujud penjagaan dan perhatian seorang ayah dan bagian dari tarbiyah yang baik.

Sungguh buruk sekali pendidikan yang mengklaim memberikan kemerdekaan kepada anak sepenuhnya tanpa adanya pengawasan dari orang tua terhadap prilaku mereka. Itu adalah kemerdekaan semu dan kebebasan yang merusak. Menganggap anak memiliki kedewasaan seperti dirinya, hingga mereka terjerat pergaulan dengan anak-anak berandalan, sementara mereka masih pendek nalarnya dan masih sempit pengalamannya, sehingga begitu mudah dijerumuskan dan dipengaruhi oleh teman-teman yang buruk, sementara bapaknya hanya menyaksikan dan bersikap netral tanpa komentar. Dengan dalih memberikan kemerdekaan bagi anaknya dan tidak ikut campur tangan dalam urusannya.

Inilah faedah pertama dari riwayat ini, yakni memberikan gambaran tentang konsep pendidikan Islam yang lurus semenjak awal tarikh hijriyah. (Amir tidak mempersoalkan pertanyaan ayahnya yakni tidak menyanggah ayahnya mengapa ia menanyakan urusannya), namun beliau memberikan alasan yang menyebabkan keterlambatannya. Beliau memberitahukan tentang keadaan kaum yang beliau lihat, mereka berdzikir kepada Allah dengan khusyu' dan takut hingga salah satu di antara mereka gemetaran lalu pingsan karena takut kepada Allah.

Akan tetapi Abdullah bin Zubair tidak simpati dengan kondisi orang yang diceritakan tersebut, tidak suka dengan apa yang mereka lakukan, tidak terperdaya oleh sikap lahir mereka. Bahkan dia meminta agar anaknya tidak bergaul dengan orang yang dikatakan khusyu tersebut, dan agar anaknya menjauhi mereka. Larangan tersebut membuat Amir keheranan mengapa ayahnya melarang berkumpul dengan kaum yang pingsan saking takutnya kepada Allah maka ia bertanya pada bapaknya: Mengapa, wahai ayah, padahal mereka adalah kaum yang takut kepada Rabb mereka?

Seharusnya ayahnya menganjurkan dia untuk bergaul dengan mereka dan memberikan motivasi untuk mengikuti mereka. Mengapa dia melarangnya padahal rasa takut itu telah bersemayam di hati dan menguasai perasaan mereka? (begitulah pikir Amir ketika itu)

Lalu muncullah jawaban dari sahabat yang agung tersebut, menjelaskan manhaj ittiba' dan jauh dari bid'ah, serta menerangkan tidak adanya kebaikan dalam ghuluw (berlebih-lebihan) atau melampaui dari apa' yang telah dikerjakan oleh Nabi dan para shahabatnya. Lalu beliau katakan bahwa beliau melihat Nabi ketika membaca Al-Qur'an (Al-Qur'an adalah sebaik-baik dzikir), begitupula halnya dengan kedua sahabat beliau yakni Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu 'Anhuma, namun tidaklah mengalami kondisi sebagaimana kondisi orang yang dilihat anaknya yakni orang yang pingsan karena khusyu'nya. Apakah mereka lebih khusyu' kepada Allah dari Rasul-Nya yang mulia padahal beliau telah menyebutkan nikmat yang Allah karuniakan kepada beliau dengan sabdanya:
Sesungguhnya orang yang paling bertakwa kepada Allah dan yang paling takut kepada-Nya adalah aku.

Dan apakah mereka lebih khusyu' pula daripada dua sahabat yang mulia, yakni Abu Bakar dan Umar? Padahal Abu Bakar 'lebih bagus keimanannya daripada iman seluruh umat ini, sebagaimana pernah disebutkan dalam sebuah hadits. Sedangkan Umar Syetan lari darinya sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah saw.

Jika demikian, mereka adalah orang-orang yang mengada-ada dan mutakallifun (memperberat diri) atau dari ahli meditasi dan filsafat yang jauh dari petunjuk salaf yang berada di tengah-tengah dan lurus. Sehingga tidak ada baiknya berteman dan meneladani mereka maka camkanlah nasihat ini wahai para pemuda.

Diambil dari Haakadza..Tahaddatsas Salaf edisi bahasa Indonesia Potret Kehidupan Para Salaf karya Dr. Musthafa Abdul Wahid. Penerbit : At-Tibyan
__________________
:)