Sabtu, Agustus 30, 2008

Kendalikan Waktu, Optimalkan Ramadhan

Saudaraku, kami sangat senang sekali bisa mendampingi para pembaca dan kita semua untuk berusaha menjadi muslim dan muslimah yang kaffah, terutama sekali di Bulan Suci Ramadhan yang dalam hitungan hari lagi akan menjumpai kita. Menjadi muslim dan muslimah yang sukses meraih piala dan pahala dari Tuhan semesta.

Oleh karena itu, kami berusaha untuk memberi “acuan” kegiatan dan pengaturan atau pemanfaatan waktu selama Ramadhan dengan full ibadah. Di antara point-point itu adalah:

Pertama, Memenej Waktu.

Artinya menjadikan waktu yang dua puluh empat jam sehari itu penuh makna dan manfaat. Paradigma memenej waktu yang efektif dan efesien adalah bagaimana bisa meraih target besar dengan seminim cara dan sarana yang ada.

Harus diketahui terlebih dahulu, “apa target yang kita inginkan”, dari sini kita berusaha untuk memenej waktu sebaik mungkin.

Kedua, Menyusun Prioritas

Menyusun “Yang terpenting kemudian yang penting”, karena waktu yang tersedia tidak lah mencukupi untuk melaksanakan segala sesuatu. Waktu yang tersedia hanya cukup untuk melaksanakan yang penting saja. Kita harus menyusun daftar kegiatan, kerja, amal dan shedulle waktunya untuk kemudian dilaksanakan sesuai prioritas. Sudah waktunya kita tinggalkan rutinitas harian, dan lebih mengedepankan pada skala prioritas.

Ketiga, Gunakan Teknologi

Kita sudah sangat dimanja dengan kemajuan teknologi yang ada. Dalam rangka memenej waktu gunakanlah teknologi yang ada, seperti HP, komputer, radio, televisi dan lain-lainnya.

Ada beberapa langkah teknis guna membantu kita untuk sukses Ramadhan:

  1. Tentukan apa yang Anda inginkan di Bulan Ramadhan secara garis besar, dalam point-point yang jelas. Seperti, mengkhatamkan Al Qur’an 4 kali. Tahajjud 10 rakaat, silaturrahim dengan kerabat dan seterusnya.
  2. Usahakan target umum di atas dirinci secara detail. Seperti, khatam Al Qur’an 4 kali itu berarti, 120 Juz dibagi 30 Juz, sehingga sehari harus membaca 4 Juz. 1 Juz misalkan dibaca setelah shalat Subuh. Dua Juz setelah Ashar sampai Maghrib, dan 1 Juz ketika shalat tahajjud atau menjelang sahur. Demikian juga dengan kegiatan silaturrahim kerabat dan shalat malam… rencanakan dan laksanakan.
  3. Mulai laksanakan. Jika ada yang harus direvisi, adakan revisi namun harus juga disertakan target yang jelas dan tahapan yang realistis.
  4. Efisiensi setiap menit. Ingat nilai waktu laksana emas. Waktu adalah kehidupan. Optimalkan waktu di setiap kesempatan dan tempat. Seperti saat-saat menunggu atau antri. Jauhkan diri dari kebanyakan omong, karena sebaik-baik omongan adalah sedikit tapi berarti.
  5. Ramadhan bulan shiam, bukan bulan makanan. Usahakan menggunakan waktu se-efesien mungkin dalam berurusan dengan makanan. Baik dalam penyajian atau dalam menyantapnya.
  6. Pendelegasian… Jangan lakukan semua, kita hanya punya dua tangan saja. Kita tidak bisa melaksanakan segalanya. Dengan pendelegasian, menjadikan kita mampu menggunakan banyak tangan yang bisa merealisasikan banyak hal, seperti pendelegasian terhadap orang lain, anak kita, teman kita, tetangga kita, istri kita dan seterusnya.
  7. Pertama dan terakhir adalah do’a. Do’a keberkahan waktu dalam ta’at, amal shaleh, dan agar Allah swt. menerima semua amal kita.

Akhirnya, marilah kita rencanakan dengan rapih apa yang kita inginkan di bulan Ramadhan, kemudian susun strategi pelaksanaannya, yang terbagi dalam setiap waktu dan hari atau shedule, selanjutnya laksanakan sesuai rencana, kemudian kita evaluasi dan revisi kekurangan untuk meraih apa yang kita inginkan. Yaitu sukses Ramadhan meraih piala dan pahala dari Allah swt. Allahu a’lam

8 Tips Sambut Ramadhan

dakwatuna.com - Ramadhan yang penuh kelimpahan kebaikan dan keutamaan, akan dapat dirasakan dan diraih ketika ilmu tentang Ramadhan dipahami dengan baik.

Bayangkan, para generasi awal Islam sangat merindukan bertemu dengan bulan suci ini. Mereka berdo’a selama enam bulan sebelum kedatangannya agar mereka dipanjangkan umurnya sehingga bertemu dengan Ramadhan. Saat Ramadhan tiba, mereka sungguh-sungguh meraih kebaikan dan keuataman Ramadhan. Dan ketika mereka berpisah dengan Ramadhan, mereka berdo’a selama enam bulan setelahnya, agar kesungguhannya diterima Allah swt. Kerinduan itu ada pada diri mereka, karena mereka sadar dan paham betul keutamaan dan keistimewaan Ramadhan.

Bagaimana menyambut bulan Ramadhan? Berikut kami hadirkan “8 Tips Sambut Ramadhan” :

1. Berdoa agar Allah swt. memberikan umur panjang kepada kita sehingga kita berjumpa dengan bulan Ramadhan dalam keadaan sehat. Dengan keadaan sehat, kita bisa melaksanakan ibadah secara maksimal: Puasa, shalat, tilawah, dan dzikir. Dari Anas bin Malik r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. apabila masuk bulan Rajab selalu berdoa, ”Allahuma bariklana fii rajab wa sya’ban, wa balighna ramadan. Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikan kami ke bulan Ramadan.” (HR. Ahmad dan Tabrani)

2. Pujilah Allah swt. karena Ramadhan telah diberikan kembali kepada kita. Imam An Nawawi dalam kitab Adzkar-nya berkata: ”Dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan kebaikan dan diangkat dari dirinya keburukan untuk bersujud kepada Allah sebagai tanda syukur; dan memuji Allah dengan pujian yang sesuai dengan keagungannya.” Dan di antara nikmat terbesar yang diberikan Allah swt. kepada seorang hamba adalah ketika dia diberikan kemampuan untuk melakukan ibadah dan ketaatan.

3. Bergembira dengan datangannya bulan Ramadhan. Rasulullah saw. selalu memberikan kabar gembira kepada para sahabatnya setiap kali datang bulan Ramadhan: “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa. Pada bulan itu Allah membuka pintu-pintu surga dan menutup pintu-pintu neraka.” (HR. Ahmad).

4. Rencanakan agenda kegiatan harian untuk mendapatkan manfaat sebesar mungkin dari bulan Ramadhan. Ramadhan sangat singkat, karena itu, isi setiap detiknya dengan amalan yang berharga, yang bisa membersihkan diri, dan mendekatkan diri kepada Allah swt.

5. Kuatkan azam, bulatkan tekad untuk mengisi waktu-waktu Ramadhan dengan ketaatan. Barangsiapa jujur kepada Allah swt., maka Allah swt. akan membantunya dalam melaksanakan agenda-agendanya dan memudahnya melaksanakan aktifitas-aktifitas kebaikan. “Tetapi jikalau mereka benar terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” Muhamad:21.

6. Pahami fiqh Ramadhan. Setiap mukmin wajib hukumnya beribadah dengan dilandasi ilmu. Kita wajib mengetahui ilmu dan hukum berpuasa sebelum Ramadhan datang agar amaliyah Ramadhan kita benar dan diterima oleh Allah swt. “Tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahu.” Al-Anbiyaa’ ayat 7.

7. Kondisikan qalbu dan ruhiyah kita dengan bacaan yang mendukung proses tadzkiyatun-nafs –pemberishan jiwa-. Hadiri majelis ilmu yang membahas tentang keutamaan, hukum, dan hikmah puasa. Sehingga secara mental, dan jiwa kita siap untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah swt. di bulan Ramadhan.

8. Tinggalkan dosa dan maksiat. Isi Ramadhan dengan membuka lembaran baru yang bersih. Lembaran baru kepada Allah, dengan taubat yang sebenarnya taubatan nashuha. “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” An-Nur:31. Lembaran baru kepada Muhammad saw., dengan menjalankan sunnah-sunnahnya dan melanjutkan risalah dakwahnya. Kepada orang tua, istri-anak, dan karib kerabat, dengan mempererat hubungan silaturrahim. Kepada masyarakat, dengan menjadi orang yang paling bermanfaat bagi mereka. Sebab, “Manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”

Semoga Allah swt. memanjangkan umur kita sehingga berjumpa dengan Ramadhan. Dan selamat meraih kebaikan-kebaikannya. Amin ya Rabbana. Allahu a’lam

Senin, Agustus 25, 2008

Ramadhan, Antara Generasi Awal dan Generasi Sekarang

dakwatuna.com - Betapa besar perbedaan antara shaumnya –puasanya- kita dengan shaumnya salafus shalih -generasi awal Islam-.

Generasi awal Islam berlomba meraih nilainya, berkutat dalam naungannya dan mengerahkan segenap kekuatan fisik dan kekuatan jiwa untuk mengisinya.

Siang hari mereka adalah kesungguhan, produktifitas dan profesional.

Malam hari mereka adalah malam-malam meraih bekalan ruhani, tahajjud dan tilawatul Qur’an.

Sebulan penuh mereka belajar, beribadah dan berbuat baik.

Lisan mereka shaum, jauh dari berkata yang tidak ada manfaatnya, apalagi kata-kata kasar, jorok dan dusta.

Telinga mereka shaum, tidak mendengarkan pernyataan sesat, negatif dan sia-sia.

Mata mereka shaum, tidak melihat yang diharamkan dan perbuatan tidak senonoh.

Hati mereka shaum, tidak terbersit untuk melakukan kesalahan atau dosa.

Dan tangan mereka, tidak digunakan untuk mengambil yang tidak halal dan tidak menyakiti.

Berbeda dengan muslim sekarang ini.

Di antara mereka ada yang menjadikan Ramadhan sebagai musim ta’at kepada Allah swt. dan melipatgandakan kebaikan.

Mereka shaum siang harinya dengan sebaik-baiknya. Mereka qiyam Ramadhan –shalat tarawih dan tahajjud- dengan sebaik-baiknya.

Mereka bersyukur kepada Allah swt. atas nikmat yang diberikan, dan mereka tidak lupa saudara-saudara mereka yang lemah dan tidak beruntung.

Mereka berusaha meneladani Nabi, sebagai orang yang paling dermawan dan paling banyak berbuat baik dalam bulan Ramadhan, laksana angin yang tertiup.

Kelompok lain adalah, kelompok yang tidak pernah tahu dan sadar akan kebaikan Ramadhan. Mereka tidak merasakan manfaat dari bulan Ramadhan. Mereka tidak peduli dengan shiam dan qiyam. Mereka tidak tahu dan tidak mau tahu keutamaan dan keistimewaan Ramadhan.

Padahal Allah swt. menghidangkan Ramadhan bagi qalbu dan ruh –hati dan jiwa- sekaligus. Sedangkan mereka malah menjadikan Ramadhan untuk memperturutkan syahwat perut dan mata (tidur) semata.

Allah swt. menjadikan Ramadhan sebagai upaya menyemai sikap kasih sayang dan kesabaran. Justeru mereka menjadikannya sebagai ajang amarah dan mengumpat.

Allah swt. menjadikan Ramadhan sebagai wahana meraih sakinah –ketentraman- dan keteduhan. Mereka malah menjadikannya sebagai bulan pertengkaran dan perselisihan.

Allah swt. menjadikan Ramadhan sebagai momentum perubahan diri, namun mereka hanya merubah jadwal makan belaka.

Allah swt. menghadirkan Ramadhan untuk menggugah si kaya agar peduli dengan yang tak berpunya. Namun mereka menjadikannya sebagai ajang memperbanyak makanan dan minuman dengan aneka ragamnya.

Semoga umat muslim melaksanakan shaum Ramadhan adalah dalam rangka meraih janji Allah swt. taqwallah, bertaqwa kepada Allah swt. sebagaimana yang diperintahkan Al Qur’an, dengan demikian mereka akan keluar dari Ramadhan menjadi orang-orang yang suci (fithri) dan dosanya terhapuskan, biidznillah. Allahu a’lam

Rabu, Juli 23, 2008

Kisah Seorang Pemuda Kader Ahli Sihir

Oleh: Mochamad Bugi
--------------------------------------------------------------------------------

dakwatuna.com - Dahulu ada ada seorang Raja mempunyai seorang Ahli Sihir. Setelah Ahli Sihir itu tua, ia meminta kepada Raja agar mengirimkan orang pemuda untuk dikader menjadi ahli sihir. Maka dikirimlah kepadanya seorang pemuda -menurut riwayat Ibnu Ishak di Sirah Ibnu Hisyam, nama pemuda ini Abdullah bin Tsamir–.

Di tengah perjalanan untuk belajar ilmu sihir, Pemuda itu berjumpa dengan seorang Rahib. Lalu duduk sejenak dan mendengarkan kata-kata sang Rahib hingga ia tertarik. Maka sejak itu setiap hari ia akan ke tempat Ahli Sihir, ia singgah terlebih dahulu ke tempat sang Rahib untuk mendengarkan ilmu yang diberikannya. Akibatnya, si Pemuda selalu terlambat tiba di tempat Ahli Sihir. Gurunya, si Ahli Sihir, menghukum pukul si Pemuda atas keterlambatannya.

Si Pemuda menceritakan kepada sang Rahib bahwa ia selalu dihukum guru sihirnya karena selalu terlambat. Sang Rahib menyarankan, “Bilang kepadanya, engkau menyelesaikan pekerjaan rumah dahulu. Kalau kamu takut dimarahi keluargamu karena pulang terlambat, katakan kepada mereka ada pekerjaan dari guru sihirmu.”

Suatu ketika dalam perjalanan si Pemuda bertemu dengan binatang yang sangat besar dan membuat orang-orang takut. Ia berkata pada dirinya sendiri, “Sekarang saatnya aku mencoba, siapakah yang lebih baik: Rahib atau Ahli Sihir.” Lalu ia mengambil sebuah batu dan berucap, “Ya Allah, jika yang benar bagimu adalah Rahib dan bukan Ahli Sihir, maka bunuhlah binatang itu agar orang-orang tidak terganggu.” Ia lempar batu itu. Kena. Binatang itu mati.

Segera si Pemuda menemui Rahib. Ia ceritakan semua peristiwa yang baru terjadi. Sang Rahib berkata, “Anakku, hari ini engkau lebih baik dari aku. Engkau akan mendapat cobaan. Janganlah engkau beritahu tentang aku.”

Bersamaan dengan berjalannya waktu, si Pemuda memiliki keistimewaan. Ia mampu menyembuhkan orang buta, mengobati penyakit kulit, dan berbagai penyakit lainnya. Keahliannya ini sampai ke telinga seorang Pengawal Raja yang buta. Pengawal Raja ini datang sambil membawa banyak hadiah. “Jika engkau mampu menyembuhkanku, engkau mendapat hadiah yang istimewa,” katanya.

Si Pemuda menjawab, “Aku tidak dapat menyembuhkan siapa pun. Yang dapat menyembuhkan hanyalah Allah swt. Kalau engkau beriman kepada Allah, aku akan berdoa agar Allah swt. menyembuhkanmu.”

Si Pengawal pun beriman. Allah swt. menyembuhkan matanya. Pulanglah ia ke istana dan kembali bertugas mendampingin Raja seperti biasa. Tentu saja Raja kaget. Pengawalnya sudah tidak buta lagi.

“Siapa yang menyembuhkanmu?” tanya Raja.

“Tuhanku,” jawab si Pengawal.

“Apakah ada Tuhan selain aku?” tanya Raja lagi.

“Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah,” jawab si Pengawal.

Raja marah. Ia memerintahkan pengawal-pengawalnya yang lain untuk menyiksa si Pengawal beriman itu. Raja ingin tahu siapa orang di balik perubahan akidah Pengawalnya itu. Maka tersebutlah nama si Pemuda.

Raja luar biasa murka. Si pemuda dipanggil untuk menghadap. Raja berkata, “Wahai anak muda, sihirmu telah mampu menyembuhkan orang buta dan orang yang terkena penyakit kulit. Engkau juga mampu melakukan yang tak dapat diperbuat orang lain.”

Si Pemuda berkata, “Aku tidak dapat menyembuhkan siapa pun. Yang dapat menyembuhkan hanya Allah swt.”

Mendengar jawaban itu Raja murka. Ia menyiksa Pemuda itu. Raja menyiksanya terus menerus hingga tersebutlah nama sang Rahib sebagai guru si Pemuda. Raja memerintahkan pengawal-pengawalnya untuk menangkap sang Rahib. Setelah sang Rahib berhasil di hadirkan, Raja berkata, “Keluarlah dari agamamu!” Sang rahib menolak. Ia dihukum gergaji. Tubuhnya terbelah menjadi dua dari kepala hingga tubuh bagian bawah.

Raja juga memerintahkan Pengawalnya yang telah beriman untuk keluar dari keyakinan barunya, “Keluarlah dari agamamu!’ Si Pengawal menolak. Ia pun dihukum gergaji. Tubuhnya terbelah menjadi dua, dari kepala hingga ke tubuh bagian bawah.

Lalu Raja memanggil si pemuda. “Keluarlah kamu dari agamamu!” Si Pemuda menolak. Raja menyuruh beberapa pengawalnya membawa Pemuda itu ke atas gunung. “Jatuhkan dia dari puncak gunung kalau dia tidak mau keluar dari keyakinannya.”

Setelah sampai di puncak gunung si Pemuda berdoa, “Ya Allah, tolonglah aku dari mereka.” Gunung pun bergoyang. Para pengawal yang akan mengeksekusi si pemuda itu jatuh. Mati.

Si Pemuda yang selamat datang kepada Raja. Raja heran, “Apa yang mereka perbuat kepadamu?” “Aku telah diselamatkan oleh Allah swt.,” tegas si Pemuda.

Maka Raja memerintahkan pengawalnya yang lain untuk membawa si Pemuda ke tengah laut. Lemparkan jika ia tidak keluar dari agamanya, begitu perintah Raja. Ketika sampai di tengah laut, si Pemuda berdoa, “Ya Allah, tolonglah aku dari mereka.” Tiba-tiba perahu oleng. Terbalik. Semua tewas tenggelam, kecuali si Pemuda.

Sekali lagi si Pemuda menghadap Raja. Raja terkejut, “Apa yang terjadi?” Dengan tegas si Pemuda berkata, “Allah membinasakan mereka dan menolong aku.” Lalu ia menambahkan, “Engkau tidak akan bisa membunuhku kecuali engkau mengikuti saranku.”

“Apa itu?” tanya Raja.

“Kumpulkan rakyatmu di sebuah lapangan luas dan engkau salib aku di sebatang kayu. Lalu panah aku dengan busur milikku sambil kau ucapkan bismillah Rabb ghulam, dengan nama Allah Tuham pemuda ini. Jika engkau lakukan itu, engkau akan berhasil membunuhku.”

Raja pun melakukan apa yang disarankan si Pemuda. “Bismillah Rabb ghulam,” ucap Raja. Panah pun meluncur. Tepat menembus pelipis si pemuda. Si pemuda meletakkan tangannya di pelipis yang terkena anak panah. Ia pun menghembuskan nafas terakhir. Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu berkata, “Kami beriman kepada Tuhannya pemuda ini.”

Seseorang berkata kepada Raja, “Tidakkah engkau saksikan apa yang engkau khawatirkan? Orang-orang telah beriman kepada Tuhannya pemuda itu.”

Raja murka luar biasa. Ia memerintahkah tentaranya membuat parit lalu mengisi parit itu dengan api yang membakar. “Yang tetap beriman kepada Tuhannya pemuda itu, ceburkan ke dalam parit itu!” titah Raja terucap. Maka, satu per satu orang-orang yang beriman kepada Tuhannya si Pemuda diceburkan ke dalam parit berapi itu. Sampai giliran seorang wanita yang menggendong anaknya. Ia ragu untuk mencebut ke dalam kobaran api. Anaknya berkata, “Wahai ibu, sabarlah. Lakukan, engkau berada dalam kebenaran.”

Begitulah, kisah orang-orang yang beriman sebelum kita. Rasulullah saw. menceritakannya kepada kita seperti yang diriwayatkan Muslim (3005), Tirmidzi (3340), Ahmad (6/17, 18), Nasa’i (11661), Ibnu Hibban (873), Tharani (7319), Ibnu Abi Ashim (287). Mereka telah membuktikan kebenaran iman mereka. Dan pasti akan tiba giliran kita untuk diuji? Semoga Allah swt. mengokohkan iman di hati kita apa pun yang terjadi. Amin.

Dalam Sirah Ibnu Hisyam, Tafsir Ibnu Katsir, dan Mu’jam Al-Buldan disebutkan, jenazah Pemuda ini ditemukan di zaman Khalifah Umar bin Khaththab. Jari si Pemuda tetap berada di pelipisnya seperti ketika ia dibunuh. Penemuan ini terjadi saat seorang penduduk Najran menggali lobang untuk suatu keperluan. Ketika tangan si Pemuda ditarik dan dijauhkan dari pelipisnya, darah memancar dari luka panas. Jika tangannya dikembalikan ke posisi semula, darah itu berhenti mengalir. Di tangan si Pemuda tertulis kata-kata Rabbku adalah Allah. Mendengar kabar itu, Umar bin Khaththab memerintahkan agar jasad di Pemuda dibiarkan seperti semula.

Ibnu Katsir berkata, “Kisah itu terjadi antara masa Isa bin Maryam a.s. dengan Rasul Muhammad saw., dan ini lebih mendekati. Wallahu a’lam.”

Apakah mereka lebih khusyu' daripada Abu Bakar dan Umar? www.perpustakaan-islam.com

Pada suatu hari Amir terlambat pulang ke rumah lalu ayahnya bertanya: Ke mana saja kamu, wahai Amir? Ia menjawab: Saya melihat suatu kaum yang tidak ada yang lebih baik daripada mereka, mereka berdzikir kepada Allah Ta'ala, salah satu di antara mereka gemetar kemudian pingsan karena takutnya kepada Allah! Apakah mereka lebih khusyu dari Abu Bakar dan Umar?

Seorang tabi'in yang agung bernama Amir bin Abdillah bin Zubair belajar dari ayahnya Abdullah bin Zubair ra.

Pada suatu hari Amir terlambat pulang ke rumah lalu ayahnya bertanya: Ke mana saja kamu, wahai Amir? Ia menjawab: Saya melihat suatu kaum yang tidak ada yang lebih baik daripada mereka, mereka berdzikir kepada Allah Ta'ala, salah satu di antara mereka gemetar kemudian pingsan karena takutnya kepada Allah!

Lalu ayahnya berkata: Janganlah kamu duduk bersama mereka lagi, wahai Amir! Kemudian Amir bertanya: Mengapa? Bukankah mereka adalah suatu kaum yang takut kepada Allah? Bapaknya menjawab: Sungguh saya telah melihat bagaimana Rasulullah saw membaca Al-Quran, dan aku melihat pula Abu Bakar 'dan Umar ra membaca Al-Qur'an, namun tidak sampai mengalami sebagaimana orang-orang yang kamu ceritakan itu, lalu apakah kau kira mereka lebih khusyu' dari pada Abu Bakar dan Umar?


Penulis mendapatkan kisah tersebut dalam biografi tabi'in yang zuhud dan ahli ibadah ini. Beliau belajar kepada ayahnya, seorang sahabat yang agung dan putra sahabat yang agung pula, yakni Abdulullah bin Zubair bin Awwam maka petunjuknya sesuai dengan petunjuk Nabi saw. Dalam riwayat ini terdapat solusi dari problem berupa ghuluw (melampaui batas) dan sikap ektsrim yang banyak menimpa kaum muda yang tengah bersemangat, sekalipun dengan niat yang baik dan menginginkan kebaikan, akan tetapi mereka salah dalam menempuh cara. Sehingga mereka tidak mendapatkan tujuan yang mereka kehendaki.

Abdullah bin Zubair bertanya kepada anaknya Amir atas keterlambatan pulang kerumah itu adalah merupakan hak baginya dan bahkan kewajiban bapak terhadap anaknya. Bukan berarti beliau merampas kemerdekaan anak atau mengekangnya, bahkan hal itu merupakan wujud penjagaan dan perhatian seorang ayah dan bagian dari tarbiyah yang baik.

Sungguh buruk sekali pendidikan yang mengklaim memberikan kemerdekaan kepada anak sepenuhnya tanpa adanya pengawasan dari orang tua terhadap prilaku mereka. Itu adalah kemerdekaan semu dan kebebasan yang merusak. Menganggap anak memiliki kedewasaan seperti dirinya, hingga mereka terjerat pergaulan dengan anak-anak berandalan, sementara mereka masih pendek nalarnya dan masih sempit pengalamannya, sehingga begitu mudah dijerumuskan dan dipengaruhi oleh teman-teman yang buruk, sementara bapaknya hanya menyaksikan dan bersikap netral tanpa komentar. Dengan dalih memberikan kemerdekaan bagi anaknya dan tidak ikut campur tangan dalam urusannya.

Inilah faedah pertama dari riwayat ini, yakni memberikan gambaran tentang konsep pendidikan Islam yang lurus semenjak awal tarikh hijriyah. (Amir tidak mempersoalkan pertanyaan ayahnya yakni tidak menyanggah ayahnya mengapa ia menanyakan urusannya), namun beliau memberikan alasan yang menyebabkan keterlambatannya. Beliau memberitahukan tentang keadaan kaum yang beliau lihat, mereka berdzikir kepada Allah dengan khusyu' dan takut hingga salah satu di antara mereka gemetaran lalu pingsan karena takut kepada Allah.

Akan tetapi Abdullah bin Zubair tidak simpati dengan kondisi orang yang diceritakan tersebut, tidak suka dengan apa yang mereka lakukan, tidak terperdaya oleh sikap lahir mereka. Bahkan dia meminta agar anaknya tidak bergaul dengan orang yang dikatakan khusyu tersebut, dan agar anaknya menjauhi mereka. Larangan tersebut membuat Amir keheranan mengapa ayahnya melarang berkumpul dengan kaum yang pingsan saking takutnya kepada Allah maka ia bertanya pada bapaknya: Mengapa, wahai ayah, padahal mereka adalah kaum yang takut kepada Rabb mereka?

Seharusnya ayahnya menganjurkan dia untuk bergaul dengan mereka dan memberikan motivasi untuk mengikuti mereka. Mengapa dia melarangnya padahal rasa takut itu telah bersemayam di hati dan menguasai perasaan mereka? (begitulah pikir Amir ketika itu)

Lalu muncullah jawaban dari sahabat yang agung tersebut, menjelaskan manhaj ittiba' dan jauh dari bid'ah, serta menerangkan tidak adanya kebaikan dalam ghuluw (berlebih-lebihan) atau melampaui dari apa' yang telah dikerjakan oleh Nabi dan para shahabatnya. Lalu beliau katakan bahwa beliau melihat Nabi ketika membaca Al-Qur'an (Al-Qur'an adalah sebaik-baik dzikir), begitupula halnya dengan kedua sahabat beliau yakni Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu 'Anhuma, namun tidaklah mengalami kondisi sebagaimana kondisi orang yang dilihat anaknya yakni orang yang pingsan karena khusyu'nya. Apakah mereka lebih khusyu' kepada Allah dari Rasul-Nya yang mulia padahal beliau telah menyebutkan nikmat yang Allah karuniakan kepada beliau dengan sabdanya:
Sesungguhnya orang yang paling bertakwa kepada Allah dan yang paling takut kepada-Nya adalah aku.

Dan apakah mereka lebih khusyu' pula daripada dua sahabat yang mulia, yakni Abu Bakar dan Umar? Padahal Abu Bakar 'lebih bagus keimanannya daripada iman seluruh umat ini, sebagaimana pernah disebutkan dalam sebuah hadits. Sedangkan Umar Syetan lari darinya sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah saw.

Jika demikian, mereka adalah orang-orang yang mengada-ada dan mutakallifun (memperberat diri) atau dari ahli meditasi dan filsafat yang jauh dari petunjuk salaf yang berada di tengah-tengah dan lurus. Sehingga tidak ada baiknya berteman dan meneladani mereka maka camkanlah nasihat ini wahai para pemuda.

Diambil dari Haakadza..Tahaddatsas Salaf edisi bahasa Indonesia Potret Kehidupan Para Salaf karya Dr. Musthafa Abdul Wahid. Penerbit : At-Tibyan
__________________
:)

Senin, Juni 30, 2008

Remembering Muhammad al-Durra


Two men shot Muhammad Al-Durra five years ago this week, on Sept 30, 2000, two days after the outbreak of Intifada II: The occupation soldier who shot the fatal bullet that killed him, and the photo journalist who shot the iconic picture that immortalized him. Muhammad, of course, was the 12-year old boy killed in the arms of his father, who had vainly tried to shield him from harm as both crouched, compressed and trapped, between a low wall and a large metal barrel at the Netzarin Junction.

The harrowing image, filmed by Palestinian cameraman Talal Abu Rahma for France 2 television, carries the emblematic power of a battle flag. Its heart-rending intensity, its fevered veracity, puts it beyond all rational understanding. It is a lasting image of the war against the Palestinian people and how Israel has conducted it.

Hundreds of poems have been written about the boy. Several countries, including Egypt, Tunisia and Belgium, have issued stamps commemorating the event. Parks and streets (including one in Cairo, where, tellingly, the Israeli Embassy is located) have been named in his honor.

Yes, that image has encoded its dark derangement in our consciousness, attesting to how a picture, clichés aside, is worth a thousand words, how we live in a world today where a verbal matrix is not the only one in which the articulation and conduct of the mind’s eye are conceivable.

For in its gruesome starkness, its distinctive dread, that video (and choose here whatever frame you want) jettisons all of the Palestinian conflict’s subplots — checkpoints, collective punishment, targeted assassinations, land grabs, home demolitions — and leaves it bare for us all to see.

Blow up one of these frames, or put it under a magnifying glass, as I have done, and what strikes you most of all is the blood pooling under the boy’s legs, an image more chilling than the depiction of any war scene.

The death of Muhammad was the picture seen around the world because photographs transcend language barriers and are relentlessly direct in the message they strive to convey.

“Ever since cameras were invented in 1839,” wrote the late literary critic Susan Sontag in “Regarding the Pain of Others,” a follow-up to “On Photography,” her earlier book on the subject, “photography has kept company with death.”

You stop in your tracks here, till you read on: “Once the camera was emancipated from the tripod, truly portable, and equipped with a range finder and a variety of lenses that permitted unprecedented feats of close observation from a distant vantage point, picture-taking acquired an immediacy and authority greater than any verbal account in conveying the horror of mass-produced death.”

Not satisfied with the dictum that a picture is worth a thousand words, Israeli officials and their apologists in the US and elsewhere have turned it upside down to read that a picture is worth a thousand arguments — namely that the boy died in the crossfire at the hands of Palestinian militants, not Israeli soldiers. Humbug!

Since the Intifada started, and since that provocative walkabout by Ariel Sharon on the grounds of the Al-Aqsa Mosque that triggered it, five years ago today, the Palestinians — left unable to choose how they lived, only how they died — turned from stone-throwing to suicide-bombing, and the Israelis turned from machine guns to tanks and Apache helicopters.

According to the latest figures put out by the United Nations Children’s agency, UNICEF, 542 Palestinian children have been killed over the last five years. Children under occupation continue to live mutilated lives, many of them, according to the UN agency, “suffering emotional problems,” like speech impediments, bedwetting, crying, panic attacks and temper tantrums, symptoms that manifest themselves in adult life as aggressive behavior.

That picture of 12-year old Muhammad Al-Durra embodies that human devastation. It joins that pantheon of iconic pictures from around the world — the horrific image of the execution of a Vietcong prisoner in a Saigon street by a Vietnamese police officer in 1968; John Filo’s shot of a girl wailing over the body of a slain Kent State student in 1970; that shot from Vietnam in 1972 of a little girl running — naked and screaming — from a napalm bombing toward the lens of Nick Ut’s camera; and most recently, a hooded Iraqi prisoner standing on a box with wires connected to his hands.

All these pictures, like that depicting the death of Muhammad, are not just iconic, but impactful as well, in the way they both represent a radical transformation of how news is delivered and how, through them, we define our objective reality.

I will conclude with a quote from an unlikely source — Donald Rumsfeld. Yes, none other than the American secretary of defense.

At an angry Senate subcommittee hearing in May, 2004, following the release of those photos of grinning American soldiers humiliating their Iraqi prisoners — photos that inspired moral outrage all over the world — Rumsfeld testified, unwittingly attesting to the power of the craft of photography: “It is the photographs that give one the vivid realization of what actually took place. Words don’t do it. ….You see the photographs and you get a sense of it, and you cannot help but be outraged.”

At that Netzarine Junction, almost exactly five years ago, the camera did not blink. It did not lie. It recorded reality in a visual way that will be etched in our consciousness for generations to come.

Source: Palestine Chronicle

Kamis, Juni 12, 2008

Ternyata Budaya Itu???

Bismillah...
Tulisan ini, hanya sebagai refleksi atas sepinya blog KAMMI Jambi...
Ternyata budaya menulis itu agak2 susah ya buat di jadikan kebiasaan...
Sebagai orang yang baru belajar, ane juga kesulitan untuk memulai menulis. Tapi apa salahnya dicoba... Yo ndak? Iyo.....
tambah lagi melihat rekaman chat, n daftar pengunjung... Duikit bangeth...
Tambah sedih saio... Ternyata, budaya menulis dan melek internet kita masih sangat dibawah rata-rata...
Tapi, harus te2p SemangaTh!!!! Mudah2an setelah tulisan ini terpampang di blog, mail KAMMI Jmbi akan penuh dengan tulisan dan bilang ke pengelola blog, posting tulisan ana dong...
Apakah ini akan jadi nyata??? Heee..... Semoga.........